Tepatnya tanggal
23-26 April 2018 seluruh Indonesia mengadakan
Ujian Nasional di Tingkat SMP secara serentak dengan dua metode utama, yaitu
berbasis kertas dan pensil (UNBKP) dan berbasis komputer (UNBK). Menurut data
statistik dari unbk.kemdikbud.go.id menyatakan bahwa 30.3% SMP yang sudah
melaksanakan UNBK dengan mandiri dan 16.1% masih menumpang di sekolah lain
karena faktor sarana, sedangkan 53.6% lainnya masih melaksanakan UNBKP. Alhamdulillah
SMP Islam Prestasi Al Mubtadi-ien termasuk yang 16.1%, semoga tahun depan bisa
melaksanakan UN dengan Mandiri. Amien.
Ujian Nasional,
bertahun-tahun lamanya kegiatan sakral di akhir sekolah ini menjadi momok yang
sangat mengerikan bagi siswa serta orang tua siswa hingga guru-gurunya pun ikut
stres turut memikirkannya. Seakan-akan ujian ini adalah penentu kesuksesan di
kehidupan selanjutnya, jika saja UN nilainya jelek maka jelek juga masa
depannya. Apakah memang benar seperti itu?
Anggapan seperti
ini tidak sepenuhnya benar, karena kesuksesan hidup adalah komposisi dari
berbagai faktor. Bahkan UN pada saat SMP sebenarnya tidak menjadi salah satu
faktor penting jika kita tanya pada orang-orang yang kita anggap sukses. Selain
itu mata pelajaran UN hanya ada 4 di SMP, dan ini sama sekali tidak
mencerminkan kecerdasan siswa secara utuh. Jika kita lihat dari sudut pandang
Multiple Intelligences (MI) UN hanya mencakup kecerdasan logis matematis (matematika
dan IPA), linguistik bahasa (bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) serta alam
naturalis (IPA). Sedangkan kecerdasan interpersonal sosial, visual spasial,
musik irama, intrapersonal diri, spiritual, serta kinestetik raga tidak
dianggap. Iya kalau siswa tersebut memang berbasis kecerdasan logis matematis,
linguistik serta naturalis, bisa jadi mereka mendapatkan nilai tinggi. Tapi
bagaimana dengan siswa siswi yang bukan berbasis itu kecerdasannya? Apakah mereka bodoh? Ditambah
ujian ini hanya pilihan ganda saja yang tidak terlalu memacu pemikiran kritis
siswa. Bagaimana mungkin daya kecerdasan siswa-siswi SMP yang seluas samudra
tapi kita ukur dengan melihat pesisir pantainya saja. Tentu banyak sekali
potensi-potensi yang sebenarnya tidak di UN-kan tapi bisa jadi menjadi fondasi
kesuksesan mereka kelak.
Ujian Nasional
memang masih menjadi event paling fantastis semasa di SMP. Tapi apakah itu
sebanding dengan hasil dari UN? Santai saja, ini hanya sebatas ujian standarisasi
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar bisa memotret laju pendidikan per-tahunnya.
UN juga tahun ini (2018) hanya sebatas pertimbangan kedua untuk masuk ke
jenjang selanjutnya (SMA/SMK/ MA Negri) setelah jarak dari sekolah ke rumah
(adanya sistem zonasi kita bahas di artikel selanjutnya).
Jangan terlalu
menekan siswa dengan berbagai les dan belajar yang melebihi batas wajar. Jangan
juga memarahi siswa jika nilainya jelek padahal sudah belajar dan sekolah dengan
rajin. Atau jangan juga memberi label siswa/ anak kita dengan sebutan bodoh hanya
karena nilai UN nya jelek. Intinya Jangan buat anak/ siswa kita stres karena hanya sebuah ujian standarisasi nasional ini.
Sapalah siswa/
anak kita saat mereka berdiam diri dan butuh kasih sayang dari kita. Tegurlah jika siswa/ anak kita menggunakan waktu senggangnya untuk hal yang tidak bermanfaat sama sekali. Marahilah dengan bijak jika siswa/ anak kita tidak belajar dengan tekun. Terus dengarkan keluh kesah dan curahan hati anak/ siswa kita, karena kedekatan antara guru dan siswa, orangtua dan siswa adalah hal pokok yang harus terjadi di ekosistem pendidikan kita. bukan stres..
Akhir kata,
selamat mengerjakan Ujian Paling Fantastis di SMP, semoga semuanya mendapatkan
hasil yang diinginkan dan berhasil menjadi anak-anak yang sukses. Amien...



0 Komentar